Minggu, 21 November 2010

ARTIKEL Sistem Ekonomi Kapitalis Self-Destructive

Pengantar:

Krisis ekonomi diperkirakan akan terjadi lagi di negeri ini, juga di negara lain. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu juga sudah memberi warning tentang kemungkinan bakal munculnya krisis ekonomi ‘jilid 2’. Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa krisis ekonomi saat ini sepertinya terus berulang. Dimana akar persoalannya? Bagaimana pula solusinya yang sangat mendasar menurut Islam?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Jubir HTI HM Ismail Yusanto memberikan pandangannya yang tajam di seputar persoalan ini. Berikut petikan wawancara Redaksi dengan beliau.

Krisis ekonomi sepertinya menjadi siklus yang terus berulang secara berkala. Apakah memang demikian?
Memang benar. Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku Ilâj al-Musykilah al-Iqtishâdiyah bi al-Islâm menyebut krisis dalam sistem ekonomi kapitalis itu memang bersifat siklik. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanyalah putaran menuju puncak untuk kemudian jatuh ke lembah krisis kembali. Begitu seterusnya.
Hal itu terjadi di semua negara di seluruh dunia. Hanya saja, kurun siklusnya berbeda-beda. Untuk negara-negara maju dengan fundamental ekonomi yang cukup baik seperti Jepang, negara di Eropa atau Amerika Serikat, siklusnya sekitar 25 tahunan. Indonesia, Thailand dan negara serupa sekitar 7 tahunan. Indonesia pernah mengalami krisis meski tidak parah di tahun 90-an. Perbaikan terus berlangsung. Pertengahan 1997 krisis ekonomi hebat melanda Indonesia. Setelah itu, saat recovery belum lagi sempurna, guncangan kembali terjadi sekitar tahun 2005, utamanya setelah kenaikan BBM, dan terus berlangsung hingga sekarang. Indikasinya adalah terus melemahnya daya beli masyarakat, kemiskinan yang terus meningkat, pertumbuhan ekonomi yang melambat hingga pengangguran terus membengkak.

Apakah itu memang menjadi karakter sistem ekonomi kapitalis?
Ya. Salah satu penyebab utama adalah adanya praktik riba dan judi. Keduanya membentuk sektor non-real dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, money (juga capital) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran mereka, baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua capital  harus menghasilkan uang. Faktanya,  investasi di sektor non-real saat ini memang cenderung terus meningkat, jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai “ekonomi balon” (bubble economy).

Bagaimana hal itu terjadi di Indonesia?
Ada lebih dari Rp 230 triliun dana masyarakat yang dikumpulkan oleh berbagai bank dengan susah-payah, juga Rp 90 triliun dana milik Pemda seluruh Indonesia, yang ternyata idle (menumpuk tak bergerak) di Bank Indonesia. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak secara otomatis berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Jika pada tahun 2000 setiap pertumbuhan ekonomi 1% menyerap sekitar 400.000 tenaga kerja, tahun 2003 menurun menjadi hanya 253.000, bahkan tahun 2006 lalu pertumbuhan 1% hanya membuka 42 ribu.
Sementara itu, di lantai bursa setiap hari beredar uang hingga Rp 3 triliun. Kapitalisasi bursa saham di Indonesia memang terus meningkat. Bila tahun 2005 lantai bursa menyumbang 36% dari PDB, tahun 2006/2007 ini, bursa saham Indonesia menyumbang 42 % PDB atau sekitar Rp 1.800 triliun. Meski begitu, keadaan ini tidak menggembirakan Wapres Jusuf Kalla karena perfomance bursa saham Indonesia, yang katanya termasuk paling bagus di dunia, tidak otomatis mempengaruhi sektor real. Bila pasar modal tidak dapat menggerakkan sektor real maka pasar modal tidak ada artinya. Itu kata Jusuf Kalla di depan Indonesia Investor  Forum di Jakarta akhir Mei lalu. Karenanya, ia menghimbau agar bursa saham memperhatikan sektor real;  sebuah himbauan yang sia-sia karena keduanya memang tidak berhubungan. 

Apakah bisa dikatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis itu rapuh?
Bukan hanya rapuh, sistem ekonomi kapitalis juga bersifat self-destructive (menghancurkan diri sendiri). Inilah watak dasar dari sistem sekular. Dia tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan manusia secara menyeluruh dan benar. Alih-alih bisa menyelesaikan persoalan, sistem ekonomi kapitalis secara faktual justru telah menimbulkan berbagai persoalan serius di berbagai belahan dunia. Kemiskinan dan kesenjangan kaya-miskin, kerusakan lingkungan, proses dehumisasi, bahkan perang dan penindasan ada di mana-mana.

Mengapa rapuh?
Faktornya banyak. Namun, saya ingin menyebut dua faktor utama. Pertama: persoalan mata uang. Saat ini nilai mata uang suatu negara pasti terikat dengan mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya sendiri. Akibatnya, nilainya tidak pernah stabil. Bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Bila mata uang tidak stabil maka kegiatan ekonomi secara keseluruhan juga tidak akan pernah stabil. Pasalnya, mata uang, ibarat kereta, adalah lokomotif penggerak gerbong kegiatan ekonomi. Kedua: kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, namun  juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing), dijadikan komoditas judi (dalam bursa saham dan kegiatan sejenis—yang oleh Allaise Maurice disebut a big casino) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.

Jadi bisa dikatakan, pemicunya adalah sektor non-real. Begitu?
Benar. Pemicu krisis ekonomi adalah sektor non-real atau moneter yang memang dikenal sebagai sektor penuh spekulasi. Kekacauan di sektor ini menyebabkan kekacauan di sektor real (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik bukan karena hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), namun karena suku bunga perbankan naik dan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
Dari pengalaman krisis tahun 1997 lalu, jelas terbukti bahwa bunga bank memang selalu akan memberikan tekanan terhadap kegiatan ekonomi. Sistem perbankan dengan bunga sangat berpengaruh terhadap bergairah-tidaknya serta sehat-tidaknya kegiatan ekonomi masyarakat. Riba memang akan selalu menjadi sumber labilitas ekonomi. Tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat. Kalaupun suatu ketika tampak sehat, ia sesungguhnya sedang menuju ke satu  titik kolaps setelah mencapai puncaknya dari sebuah siklus krisis ekonomi. Karena itu, dengan tegas Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Al-Quran menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan setan. Ketidakstabilan ini sering disebut dengan  random walk—suatu istilah statistik yang mengambarkan langkah-langkah yang tidak berpola, persis seperti langkah orang yang sedang mabuk berat. Orang-orang yang tetap mengambil riba setelah tiba larangan dari Allah, diancam akan dimasukkan ke neraka. Lihat QS al-Baqarah (2) ayat 275-276.

Lalu bagaimana ketahanan ekonomi itu bisa diwujudkan oleh sistem ekonomi Islam?
Secara i‘tiqâdi, sebagai sistem yang diturunkan oleh Allah, sistem ekonomi Islam pasti paling baik dan memiliki ketahanan tinggi. Islam menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah dan larangan Allah, yakni dengan pendapat, pemikiran dan hukum Islam. Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah yang implikasinya tidak berhenti di dunia saja, namun sampai ke negeri akhirat, karena  semua itu  akan dimintai pertanggungjawabannya di sana kelak. 
Keyakinan Islam juga mengatakan bahwa syariah pasti membawa rahmat. Artinya, di dalam syariah pasti terkandung kebaikan-kebaikan. Dengan keyakinan seperti itu, kegiatan ekonomi yang baik adalah apa yang dikatakan baik oleh syariah, dan yang buruk adalah apa yang dikatakan buruk oleh syariah. Jadi, melaksanakan sistem ekonomi Islam berarti melaksanakan syariah Islam di bidang ekonomi.

Bagaimana Islam memandang sektor moneter?
Islam membedakan money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedangkan capital sebagai private goods adalah stock concept. Money adalah milik masyarakat. Karena itu, penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar; bila diibaratkan dengan darah, perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Jadi, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, diproduktifkan baik secara langsung atau dengan melakukan kerjasama bisnis dalam bentuk syarikah dengan orang lain; bisa juga disedekahkan, atau dipinjamkan tanpa riba, dan dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini berarti merupakan tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Apakah sistem ekonomi Islam bisa mengatasi semua problem tersebut?
Tentu. Islam sangat bisa mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung. Di samping harus menata sektor real, yang paling penting adalah meluruskan pandangan yang keliru tentang uang tadi. Bila uang dikembalikan pada fungsinya sebagai alat tukar saja, lantas mata uang dibuat dengan basis emas/dinar (1 dinar  syar‘i beratnya 4,25 g) dan perak/dirham (1 dirham syar‘i beratnya 2,975 g), maka ekonomi akan betul-betul digerakkan oleh hanya sektor real saja. Tidak akan ada sektor non-real (dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang di pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya). Kalaupun ada usaha di sektor keuangan, itu tidaklah lebih sekadar menyediakan uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang benar (misalnya bagi hasil). Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor real akan berjalan mantap, tidak mudah bergoyang atau digoyang seperti saat ini.
Islam mengajarkan untuk hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Dengan itu, dimana uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa, bukan dengan sesama uang seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat sehingga lapangan pekerjaan terbuka, pengangguran bisa ditekan, kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada akhirnya, krisis sosial (kriminalitas, perceraian, stress pada masyarakat dan sebagainya) dapat dihindari. Semua pertumbuhan itu berlangsung secara mantap  (steady growth), tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi balon (bubble growth) yang semu dalam sistem kapitalistik yang bersifat siklik tadi.

Kemudian, bagaimana dengan kestabilan mata uang dinar dan dirham itu?
Dengan mata uang dinar dan dirham,  nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Seberapa pun dolar Amerika naik nilainya, misalnya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dolar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Gejolak ekonomi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997, insya Allah, juga tidak akan terjadi.
Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi, yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Di antaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Namun, keadaan ini kecil sekali kemungkinannya. Pasalnya, penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang memakan investasi besar dan waktu yang lama. Andai pun hal ini terjadi,  emas temuan itu  akan disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian, pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin. Di sinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.

Selain itu, apa yang juga penting dan mendesak untuk dilakukan?
Menata dunia perbankan. Fakta empirik dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan konvensional yang berbasis bunga ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem. Negative-spread yang dialami oleh perbankan nasional hingga membuat sejumlah bank berdarah-darah beberapa tahun lalu jelas bukan karena faktor moral hazard semata, namun yang utama adalah karena ia bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive tadi. Tegasnya, sistem ribawi itulah yang membuat dunia perbankan terus terpuruk dan tidak pernah stabil.  Bagaimana ekonomi akan berjalan baik bila bertumpu pada lembaga intermediari yang tidak stabil? Karena itu, sistem perbankan konvensional berbasis bunga mesti dihilangkan. Sebagai gantinya, pengelolaan lembaga keuangan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ini merupakan satu-satunya pilihan.

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/20

penulis: sukarja

ADAM SMITH

     Adam Smith dikenal luas dengan teori ekonomi '"laissez-faire" yang mengumumkan perkumpulan di abad 18 Eropa. Smith percaya akan hak untuk mempengaruhi kemajuan ekonomi diri sendiri dengan bebas, tanpa dikendalikan oleh perkumpulan dan/atau negara. Teori ini sampai pada proto-industrialisasi di Eropa, dan mengubah mayoritas kawasan Eropa menjadi daerah perdagangan bebas, membuat kemungkinan akan adanya pengusaha. Dia juga dikenal sebagai "Bapak Ekonomi".
     Dunia berutang besar terhadap tokoh yang satu ini khususnya di bidang ekonomi. Pria kelahiran 5 Juni 1723 ini, merupakan penulis buku “The Wealth of Nations” yang mengubah paradigma ekonomi abad 18 sampai sekarang. Sebelum Smith melahirkan pemikirannya lewat buku tersebut, ekonomi masa itu didominasi oleh kelompok kuat tertentu atau pemerintah/negara (intervensi). Ia berpendirian bahwa perekonomian bisa dijalankan oleh siapapun secara bebas (laisses faire). Sejak buku Kemakmuran Bangsa-bangsa itu diluncurkan, hampir semua kalangan menyambutnya dengan baik dan mengamalkannya. Hanya sebagian kecil saja yang masih kukuh memertahankan paradigma lama tentang perekonomian. Pemikirannya meluas bukan hanya di negara asalnya yaitu Skotlandia dan Inggris Raya, namun juga ke Eropa, Asia dan Amerika. Kini, setiap bangsa di dunia menjadikan pandangan Smith sebagai kitab suci perekonomian lewat apa yang di sebut dengan perdagangan bebas. 

Individualisme dan Kebebasan
     Adam Smith pertama kali menulis buku yang berjudul The Theory of Moral Sentiments pada tahun 1759. dalam bukunya ini Smith meyakinkan pembacanya bahwa setiap manusia sangat menyukai hidup sebagai warga masarakat, dan tidak menyukai hidup ang individualistik dan mementingkan diri sendiri. Adam Smith memiliki pemikiran bahwa setiap orang secara natural akan saling menghargai (rasional) sehingga dia menganggap manusia adalah makhluk bebas yang dengan sendirinya tahu nilai-nilai kemasyarakatan. Pemikiran semacam ini sangat berbahaya karena pada kenyataannya manusia tidak seperti anggapan Adam Smith (rasional, ada beberapa manusia yang irasional).
Tanpa adanya peraturan manusia akan saling makan dan menindas yang berlaku adalah hukum rimba. Smith yang menghargai sifat natural manusia dan kecewa pada dampak merkantilisme membenci campur tangan pemerintah tetapi tanpa ada campur tangan pemerintah, kehidupan dalam bernegara tidak akan dapat berjalan dengan sendirinya.

Laissez-faire Principles
     Di dalam bukunya Smith yang berjudul Wealth of Nations, prinsip Laissez faire menjadi dasar dari sistem ajaran dan menjadi pelabuhan bagi filsuf-filsuf luar negeri yang membentuk suatu bagian esensial. Prinsip Laissez faire, persaingan, dan teori nilai pekerja adalah fitur berharga yang diajarkan dari sekolah ekonomi beraliran klasik, yang secara esensial dibangun oleh Smith serta Malthus, Ricardo, dan Mill. Prinsip Laissez faire merupakan pondasi bagi sistem ekonomi klasik.
Ketika Smith membuat pembelaannya untuk natural liberty atau lissez faire, dia telah ketinggalan tradisi filosifi politik Locke. Pemikiran besar bahwa ada pembatasan untuk legitimasi fungsi pemerintah dia dapat menemukn pada Locke. Prinsip pembatasan Locke akan membatasi legislasi untuk yang dibuat untuk barang public. Bagi Smith, barang public membutuhkan laissez faire karena pencarian self-interest, dipandu oleh invisible hand dari persaingan, yang menghasilkannya, sedangkan intervensi pemerintah dalam lingkungan perekonomian akan lebih sering mengganggu daripada menolong.

Dua dari kutipan yang paling terkenal dan paling sering digunakan dalam The Wealth of Nations adalah: 

Bukanlah kebaikan dari tukang daging, tukang bir, atau tukang roti yang kita harapkan pada makan malam kita, tetapi kepedulian mereka pada kepentingan mereka sendiri. Kita mengenalkan diri kita, tidak pada kemanusiaan mereka tetapi pada kecintaan mereka pada diri sendiri, dan tidak pernah bicara pada mereka atas keperluan kita tetapi untuk keuntungan mereka. 

Sebagaimana setiap individu, maka, mengusahakan sebanyak apa yang ia bisa sehingga ia bisa menggunakan modal miliknya dalam mendukung insutri dalam negeri, dan juga untuk mengarahkan industri yang produksinya mungkin merupakan nilai terbesar, setiap individu buruh yang diperlukan untuk memasang nilai yang tepat dari masyarakat sebaik yang ia bisa. Dia secara umum tidak mempromosikannya untuk kepentingan publik, tidak juga tau sebanyak apa dia mempromosikannya. Dengan memprefrensikan dukungan dari dalam negeri ke industri asing, dia bertujuan hanya untuk keamanan dirinya sendiri, dan dengan mengarahkan industri tersebut dalam sikap dimana produksinya merupakan nilai terbesarnya, dia hanya memikirkan keuntungan dirinya sendiri, dan dia dalam hal ini, seperti kasus lainnya, dipandu oleh tangan-tangan tak terlihat untuk menghasilkan sebuah akhir dimana akhir tersebut bukan bagian dari tujuannya. Tidak juga selalu merupakan yang lebih buruk bagi masyarakat yang mana hal tersebut bukan merupakan bagian darinya. Dengan mengejar keuntungan dirinya sendiri secara berkala dia secara teratur menghasilkan apa yang berakibat bagi masyarakat lebih dari yang ia perkirakan akan hasilnya. Saya tidak pernah bertemu banyak kebaikan yang terjadi dengan siapapun yang berdagang dalam barang publik. Ini merupakan emosi yang kuat, sebenarnya, tidak begitu umum diantara para pedagang, dan sangat sedikit kata-kata yang bisa digunakan untuk meyakinkan tidak melakukan hal tersebut pada mereka.

Division of Labor
     Smith memulai analisisnya dengan division of labor karena dia berharap menemukan dasar transformasi yang tepat dari bentuk konkret pekerja, yang memproduksi barang yang tepat (berguna), kepada pekerja sebagai elemen sosial, yang menjadi sumber kemakmuran dalam bentuk abstrak (nilai pertukaran). Divisions of labor dijadikan dasar oleh Smith karena meningkatkan produktivitas pekerja. Setelah memberikan pengetahuannya mengenai perhitungan qualitas dan konsekuensi, Smith memproses penyelidikan terhadap penyebabnya.
Karena division of labor bergantung pada propensity to exchange, yang Smith hormati sebagai salah satu motiv dasar dari human conduct. Ada sesuatu kebingungan dalam satu point Smith mengenai hal ini yaitu tentang sebab dan akibat. Mungkin suatu yang benar jika perdagangan tidak dapat exist tanpa divisions of labor, ini tidak benar, paling tidak dalam teori, divisions of labor memerlukan existensi dari private exchange. Secara logis didemonstrasikan ketika pada suatu organisasi sosial tertentu yang menerapkan divisions of labor tanpa perdagangan. Dalam komunitas ini dapat ditunjukkan keberadaannya. Smith bersalah karena membuat karakteristik masyarakat pada zamannya untuk segala zaaman, dia dihormati sebagai manusia biasa dan dibuat kedalam penjelasan dasar yang universal, fitur dari sosial kontemporer yang dikondisikan scara historis. Tapi tujuan Smith menjadi propaganda. Dia menekankan pengaruh dasar pada [roduktivitas untuk mendemonstrasikan bahwa perdagangan dibebaskan sebagai prasyarat pengembangan kekuatan produktif dan tidak hanya berguna penuh untuk mengadakan kekuatan produksi.
Smith memproses untuk menanalisis bagaimana tingkat divisions of labor ditentukan dan disimpulkan bahwa divisions of labor dibatasi dengan extent pasar.
Smith menjelaskan bahwa dengan divisions of labor kuantitas dan kualitas produksi dapat dicapai dengan lebih baik. Peningkatan kantitas dan kualitas produksi dapat dihasilkan karena tiga alasan, yaitu : Physiokrat mengenai peningkatan kepuasan, sedang Smith lebih condong pada tingkat persaingan dan natural liberty dalam pencapaian kepuasan.
Smith juga memperkenalkan Theor of Value yang berisi tentang nilai yang digunakan dalam pertukaran. Permasalahan yang timbul dari nilai tukar barang adalah adalah value of use, value of exchange, measure of value. Smith juga menjelaskan mengenai bimetal coin sebagai alat pertukaran, dan juga ada nominal price dan real price dengan prnsip pekerja berkaitan dengan harga riil komoditas dan uang sebagai harga nominal komoditas. Divisions of labor yang dikemukakan oleh Smith memunculkan sifat individualisme dan menjadikan manusia seolah-olah menjadi mesin yang terprogram terlepas dari adanya efisiensi waktu yang ditimbulkan.

Teori Sewa
     Dalam teori sewanya, Smith bimbang antara jumlah prinsip eksplanatori pada yang di bawah pembayaran sewa. Ini baginya, “secara alami suatu harga monopoli,” suatu penunjukkan yang dijelaskan oleh observasi bahwa “ini tidak semua proporsion pada apa yang tuan tanah mungkin meletakkan dalam peningkatan tanah atau apa yang dapay dia hasilkan, tapi apa yang dapat petani hasilkan untuk diberikan.” Ketika smith membicarakan harga komoditas dia memasukan sewa tanah sebagai elemen biaya dan kemudian sebagai determinan harga produk, tapi dalam chapter secara khusus disediakan untuk sewa dia mempertimbangkan suatu sewa tinggi atau rendah efek dari harga produk yang tinggi atau rendah.
Smith tidak mengubah bagian ini dalam kritik Hume, dia tidak menemukan ketidakkonsistenannya. Ini mungkin bahwa dalam teori harga microekonominya dia mempertimbangkan kegunaan khusus dari bidang tanah sebagai biaya pengadaan dalam istilah oportunitas alternative, sedangkan dalam teori makroekonomi dari disribusi tanah sebagai suatu keseluruhan yang dipandang sebagai perolehan bukan kegunaan alternative. Sewa, lebih lanjutnya diinterpretasikan sebagai suatu perbedaan yang bermacam-macam dengan kedua fertilitas dan lokasi. Untuk lokasi kemajuan tranportasi akan cenderung menyamakan perbedaan lokasi sebaik sewa. Dalam teori perkembangan ekonomi smith, peningkatan pendapat nasional dengn peningktan pemerataan pendapatan penyewaan kelas tuan tanah. Peningkatan pendapatan nasional akan diingat, diprediksi oleh smith dalam dividion of labor dimana manufaktur lebih rentan daripada agrikultur. Peningkatan spesialisasi dan produktivitas dalam sector manufaktur ekonomi akan lebih rendah harga manufaktur dan peningkatan nilai riil dari sewa.
Peningkatan pemerataan kelas tuan tanah dalam pendapatan nasional kemudian mencerminkan kemajuan perdagangan dari sector agrikultur. Dalam teori Ricardian, factor strategic yang menghasilan suatu hasil yang dihasilkan tidak banyak meningkatkn produktivitas dalam manufaktur sebagai diminishing return untuk tanah yang meningkatkan harga agrikultur dan dengan demikian memajukan perdagangan sector agrikultur dari perekonomian dan peningkatan pemerataan ini dari peningkatan nasional.

"Masalah Adam Smith"

     Dalam The Wealth of Nations Smith mengklaim kalau kepentingan pribadi sendiri (dalam pengaturan institusional yang berimbang) bisa menuju pada hasil yang menguntungkan dari segi sosial. Tetapi di dalam Teory of Moral Sentiments-nya Smith berpendapat kalau simpati dibutuhkan untuk mencapai hasil yang secara sosial menguntungkan. Didalam permukaannya hal itu berwujud keadaan kontradiksi.

     Ekonom August Oncken menghubungkan ke hal ini di Jerman sebagai das 'Adam Smith-Problem'[8]. Ekonom Austria Joseph Schumpeter juga memberi perhatian tentang ini cenderung kontradiksi dengan karya Smith dalam komentarnya.

     Adam Smith sendiri tidak melihat adanya kontradiksi, sejak ia memproduksi sebuah edisi yang sudah direvisi dari Moral Sentiments setelah publikasi dari Wealth of Nations. Keduanya dalam kisaran idenya bisa ditemukan di Lectures of Jurispundence. Di tahun belakangan kebanyakan murid dari karya Adam Smith bersilang pendapat bahwa tidak ada kotradiksi yang terjadi. Didalam Theory of Moral Sentiments, Smith mengembangkan sebuah teori dari psikologi dimana tiap perorangan dalam masyarakat menemukannya didalam kepentingan pribadi mereka untuk mengembangkan simpati sebagaimana mereka mencari penghargaan dari apa yang ia sebut "penonton imparsial". Kepentingan pribadi yang ia sebut bukanlah keegoisan sempit tetapi sesuatu yang melibatkan simpati.

     Sebagian pembaca dari The Wealth of Nations mengasumsikan bahwa ketika Smith berbicara mengenai "kepentingan pribadi" dia memaksudkan hal tersebut sebagai keegoisan. Walaupun pada konteks tertentu, seperti membeli dan menjual, simpati secara umum tidak harus dimasukkan, Smith membuat hal tersebut jelas dimana dia melihat keegoisan sebagai suatu hal yang tak pantas, jika tidak amoral, dan pelaku kepentingan pribadi memiliki simpati ke orang lain. Dalam Theory of Moral Sentiments Smith berpendapat kalau kepentingan pribadi dari pelaku manapun termasuk kepentingan dari bagian lain dari masyarakat, karena opini yang diperbagus secara sosial dari tidakan yang pantas dan tidak pantas pentingnya mempengaruhi kepentingan dari individu sebagai anggota dari masyarakat. Konteks ini juga juga berguna karena Adam Smith melawan ide dari korporasi, atau "perusahaan saham gabungan".

     Dalam kasus manapun, Adam Smith sepertinya percaya kalau sentimen moral dan kepentingan pribadi akan menambah pada hal yang sama. Satu garis yang mungkin dari alasan tersebut dia mungkin telah sampai pada tahap kesimpulan seperti: tangan-tangan tak terlihat tidak bisa beroprasi jika tidak ada masyarakat, untuk mengawali sebuah konstruksi awal pembagian sosial dari buruh, dan, efisiensi yang datang dengan manifestasinya. Sekarang untuk masyarakat untuk eksis, keadilan merupakan kondisi yang dibutuhkan (yang mana disebut dalam karya Smith Theory of Moral Sentiments). Untuk keadilan berada didalam latar sosial manapun, individu harus mematri keinginan dari penghargaan dan kemarahan yang dikendalikan oleh rasa menghargai dan tidak menghargai juga nyaris secara eksklusif dihasilkan oleh simpati manusia. Kesimpulannya, tangan-tangan tak terlihat dari pasar adalah, pada tingkat tertentu, diwakilkan atas kemampuan dari manusia untuk bersimpati: kepentingan pribadi dari Smith merupakan harmoni dengan opini dari simpati.

Pengaruh

The Wealth of Nations salah satu usaha terawal untuk mempelajari bangkitnya industri dan perkembangan ekonomi di Eropa, merupakan pengawal ke disiplin akademis modern dari ekonomi. Ini memberi salah satu rasional intelektual paling dikenal untuk perdagangan bebas dan kapitalisme, mempengaruhi secara luas tulisan ekonom selanjutnya.

Ada beberapa kontroversi atas perluasan dari keaslian Smith dalam Wealth of Nations. Beberapa berpendapat kalau karya tersebut menambah hanya sedikit dari ide yang sudah ada sebelumnya dari Anders Chydenius (The National Gain 1765), David Hume dan Baron de Montesquieu. Sebenarnya, banyak dari teori Smith hanya menjelaskan tren sejarah dari merkantilisme dan menuju perdagangan bebas dimana telah dikembangkan selama beberapa dekade dan memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan pemerintah. Bagaimanapun, karya Smith merangkum ide mereka secara komperhensif, dan juga menjadi salah satu buku paling berpengaruh dan penting saat ini dalam bidang ekonomi.

Smith berada di peringkat 30 di Daftar orang paling berpengaruh-nya Michael H. Hart.

Dari 13 Maret 2007 kesana potret Smith muncul dalam £ 20 baru. Dia merupakan orang Skotlandia pertama yang ditampikan dalam mata uang tersebut oleh Bank of England.
Pada 25 Juni 2006, dimana Warren Buffet mengumumkan kalau dia akan menyumbangkan kekayaannya ke The Bill and Melinda Gates Foundation, dia dihadiahi salinan dari Wealth of Nations Adam Smith oleh Bill Gates.

Adam Smith merupakan insipirasi dari grup konservatif dari Missouri, Adam Smith Foundation.

Karya Besar

* The Theory of Moral Sentiments (1759)
* An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776)
* Essays on Philosophical Subjects (diterbitkan setelah 1795)
* Lectures on Jurisprudence (diterbitkan setelah 1976)

ARTIKEL Sejarah Pemikiran Ekonomi Praklasik, Klasik, Sosialis dan Neoklasik

Sejarah Pemikiran Ekonomi Praklasik, Klasik, Sosialis dan Neoklasik
Sejarah Pemikiran Ekonomi Kaum Perintis Sosialis
  1. Konsep-konsep ekonomi dari kaum perintis ditemukan terutama dalam ajaran-ajaran agama, kaidah-kaidah hukum, etika atau aturan-aturan moral. Misalnya dalam kitab Hammurabi dari Babilonia tahun 1700 sM, masyarakat Yunani telah menjelaskan tentang rincian petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berekonomi.
  2. Plato hidup pada abad keempat sebelum Masehi mencerminkan pola pikir tradisi kaum ningrat. Ia memandang rendah terhadap para pekerja kasar dan mereka yang mengejar kekayaan. Plato menyadari bahwa produksi merupakan basis suatu negara dan penganekaragaman (diversivikasi) pekerjaan dalam masyarakat merupakan keharusan, karena tidak seorang pun yang dapat memenuhi sendiri berbagai kebutuhannya. Inilah awal dasar pemikiran Prinsip Spesialisasi kemudian dikembangkan oleh Adam Smith.
  3. Aristoteles merupakan tokoh pemikir ulung yang sangat tajam, dan menjadi dasar analisis ilmuwan modern sebab analisisnya berpangkal dari data. Konsep pemikiran ekonominya didasarkan pada konsep pengelolaan rumah tangga yang baik, melalui tukar-menukar. Aristoteleslah yang membedakan dua macam nilai barang, yaitu nilai guna dan nilai tukar. Ia menolak kehadiran uang dan pinjam-meminjam uang dengan bunga, uang hanya sebagai alat tukar-menukar saja, jika menumpuk kekayaan dengan jalan minta/mengambil riba, maka uang menjadi mandul atau tidak produktif.
  4. Xenophon seorang prajurit, sejarawan dan murid Socrates yang mengarang buku Oikonomikus (pengelolaan rumah tangga). Inti pemikiran Xenophon adalah pertanian dipandang sebagai dasar kesejahteraan ekonomi, pelayaran dan perniagaan yang dianjurkan untuk dikembangkan oleh negara, modal patungan dalam usaha, spesialisasi dan pembagian kerja, konsep perbudakan dan sektor pertambangan menjadi milik bersama.
  5. THOMAS AQUINAS (1225-1274) seorang filosof dan tokoh pemikir ekonomi pada abad pertengahan, mengemukakan tentang konsep keadilan yang dibagi dua menjadi keadilan distributife dan keadilan konvensasi, dengan menegakkan hukum Tuhan maka dalam jual-beli harus dilakukan dengan harga yang adil (just-price) sedang bunga uang adalah riba. Tetapi masalah riba, upah yang adil dan harga yang layak ini merupakan masalah yang terus-menerus diperdebatkan dalam ilmu ekonomi.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Kaum Merkantilis
  1. Merkantilis merupakan model kebijakan ekonomi dengan campur tangan pemerintah yang dominan, proteksionisme serta politik kolonial, ditujukan dengan neraca perdagangan luar negeri yang menguntungkan .
  2. Pemikiran-pemikiran ekonomi lahir pada kaum merkantilis disebabkan adanya pembagian kerja yang timbul di dalam masyarakat, pembagian kerja secara teknis dan pembagian kerja teritorial, yang selanjutnya akan mendorong perdagangan internasional.
  3. Pemikiran ekonomi kaum merkantilis merupakan suatu kebijakan yang sangat melindungi industri, dalam negeri, tetapi menganjurkan persaingan, sementara itu terjadi pembatasan-pembatasan yang terkontrol dalam kegiatan perdagangan luar negeri, kebijakan kependudukan yang mendorong keluarga dengan banyak anak, kegiatan industri di dalam negeri dengan tingkat upah yang rendah. Proteksi industri yang menganjurkan persaingan dalam negeri, dan tingkat upah yang rendah mendorong ekspor.
  4. Teori kuantitas uang didasarkan pada jumlah uang yang beredar mempengaruhi tingkat bunga dan tingkat harga barang. Ke luar masuknya logam-logam mulia mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri serta jumlah uang yang beredar, dan kecepatan uang beredar.
  5. Kebijakan ekonomi lebih bersifat makro, hal ini berhubungan dengan tujuan proteksi industri di dalam negeri, dan menjaga rencana perdagangan yang menguntungkan, hal ini dilakukan dalam usaha meningkatkan peranannya dalam perdagangan internasional dan perluasan-perluasan kolonialisme.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Kaum Pisiokrat
  1. Mazhab Pisiokrat tumbuh sebagai kritik terhadap pemikiran ekonomi Merkantilis, tokoh pemikir yang paling terkenal pada mazhab ini adalah Francois Quesnay. Sumbangan pemikiran yang terbesar dalam perkembangan ilmu ekonomi adalah hukum-hukum alamiah, dan menjelaskan arus lingkaran ekonomi.
  2. Inti pemikiran utama dalam mazhab Pisiokrat adalah dituangkan dalam tabel ekonomi yang terdiri dari classe productive dari kaum petani, classe des froprietaires dari kaum pemilik tanah, classe sterile atau classe stipendile yang meliputi kaum pedagang dan industriawan dan classe passieve adalah kaum pekerja.
  3. Pemikiran ekonomi kaum Pisiokrat yang menonjol dalam perkembangan ilmu ekonomi selain lingkaran arus ekonomi dalam tabel ekonomi yaitu tentang teori nilai dan harga yang terbagi menjadi tiga yaitu harga dasar barang-barang, harga penjualan dan harga yang harus dibayar konsumen. Teori uang yang dikemukakannya adalah sebagai tabir uang (money is veil) dan perlunya pengenaan pajak untuk kepentingan ekonomi.
  4. Sumbangan pemikiran ahli Pisiokrat lain yaitu Jaques Turgot mempunyai dua sumbangan utama terhadap pemikiran ekonomi yakni teori uang sebagai tabir, dan teori fruktifikasi. Teori uang sebagai tabir yang mempersulit pengamatan fenomena ekonomi. Namun demikian pemikiran ini merupakan gagasan ke arah menemukan dasar satuan perhitungan yang ia, tetapi dikemukakan atas transaksi barter dengan nilai alat tukar dapat berubah-ubah karena jumlahnya.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Kaum Klasik
  1. Filsafat kaum klasik mengenai masyarakat, prinsipil tidak berbeda dengan filsafat mazhab pisiokrat, kaum klasik mendasarkan diri pada tindakan-tindakan rasional, dan bertolak dari suatu metode alamiah. Kaum klasik juga memandang ilmu ekonomi dalam arti luas, dengan perkataan lain secara normatif.
  2. Politik ekonomi kaum klasik merupakan politik ekonomi laissez faire. Politik ini menunjukkan diri dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mazhab klasik, dan dengan keseimbangan yang bersifat otomatis, di mana masyarakat senantiasa secara otomatis akan mencapai keseimbangan pada tingkat full employment.
  3. Asas pengaturan kehidupam perekonomian didasarkan pada mekanisme pasar. Teori harga merupakan bagian sentral dari mazhab klasik, dan mengajarkan bahwa proses produksi dan pembagian pendapatan ditentukan oleh mekanisme pasar. Dan dengan melalui mekanisme permintaan dan penawaran itu akan menuju kepada suatu keseimbangan (equilibrium). Jadi dalam susunan kehidupan ekonomi yang didasarkan atas milik perseorangan, inisiatif dan perusahaan orang-perorangan.
  4. Ruang lingkup pemikiran ekonomi klasik meliputi kemerdekaan alamiah, pemikiran pesimistik dan individu serta negara. Landasan kepentingan pribadi dan kemerdekaan alamiah, mengritik pemikiran ekonomi sebelumnya, dan kebebasan individulah yang menjadi inti pengembangan kekayaan bangsa, dengan demikian politik ekonomi klasik pada prinsip laissez faire.
Pemikiran Ekonomi Kaum Klasik Adam Smith (1723-1790)
  1. Adam Smith adalah seorang pemikir besar dan ilmuwan kelahiran Kirkaldy Skotlandia tahun 1723, guru besar dalam ilmu falsafah di Universitas Edinburgh, perhatiannya bidang logika dan etika, yang kemudian semakin diarahkan kepada masalah-masalah ekonomi. Ia sering bertukar pikiran dengan Quesnay dan Turgot dan Voltaire.
  2. Adam Smith adalah pakar utama dan pelopor dalam mazhab Klasik. Karya besar yang disebut di atas lazim dianggap sebagai buku standar yang pertama di bidang pemikiran ekonomi gagasannya adalah sistem ekonomi yang mengoperasionalkan dasar-dasar ekonomi persaingan bebas yang diatur oleh invisible hand, pemerintah bertugas melindungi rakyat, menegakkan keadilan dan menyiapkan sarana dan prasarana kelembagaan umum.
  3. Teori nilai yang digunakan Adam Smith adalah teori biaya produksi, walaupun semula menggunakan teori nilai tenaga kerja. Barang mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Ongkos produksi menentukan harga relatif barang, sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah dan harga pasar dalam jangka panjang harga pasar akan cenderung menyamai harga alamiah, dan dengan teori tersebut timbul konsep paradoks tentang nilai.
  4. Sumber kekayaan bangsa adalah lahan, tenaga kerja, keterampilan dan modal. Dengan demikian, timbul persoalan pembagian pendapatan yakni upah untuk pekerja, laba bagi pemilik modal dan sewa untuk tuan tanah. Tingkat sewa tanah akan meningkat, sedangkan tingkat upah menurun, dengan asumsi berlaku dana upah, dan lahan lama-kelamaan menjadi kurang subur, sedangkan persaingan tingkat laba menurun yang akhirnya mencapai kegiatan ekonomi yang stationer. Smith berpendapat bahwa pembagian kerja sangat berguna dalam usaha meningkatkan produktivitas. Pembagian kerja akan mengembangkan spesialisasi. Pertambahan penduduk berarti meningkatkan tenaga kerja, dalam hal ini meningkatkan permintaan dan perluasan pasar.
Pemikiran Ekonomi Kaum Klasik: J.B. Say, Malthus dan David Ricardo
  1. Jean Batiste Say adalah seorang pakar ekonomi kelahiran Perancis yang berasal dari keluarga saudagar dan menjadi pendukung pemikiran Adam Smith. Say memperbaiki sistem Adam Smith dengan cara yang lebih sistematis serta logis. Karya Say yaitu theorie des debouchees (teori tentang pasar dan pemasaran) dan dikenal sebagai Hukum Say (Say’s Law) yaitu supply creats its oven demand tiap penawaran akan menciptakan permintaanya sendiri. Menurut Say dalam perekonomian bebas atau liberal tidak akan terjadi “produksi berlebihan” (over production) yang sifatnya menyeluruh, begitu juga pengangguran total tidak akan terjadi. Yang mungkin terjadi menurut Say ialah kelebihan produksi yang sifatnya sektoral dan juga pengangguran yang sifatnya terbatas (pengangguran friksi).
  2. Thomas Robert Malthus dilahirkan tahun 1766 di Inggris, sepuluh tahun sebelum Adam Smith menerbitkan The Wealth of Nations dan meninggal tahun 1834. Malthus adalah seorang ilmuwan di bidang teologi yang kemudian memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah ekonomi dalam perkembangan masyarakat. Malthus adalah alumnus dari University of Cambridge, Inggris, tempat ia menyelesaikan pelajaran dalam ilmu matematika dan ilmu sejarah klasik. Malthus diangkat menjadi Profesor of History and Political Economy di East India College. Bagian yang paling penting dalam pola dasar pemikiran Malthus dan kerangka analisisnya ialah menyangkut teori tentang sewa tanah dan teori tentang penduduk dengan bukunya yang berjudul An Essay on the Principle of Population. Teori Malthus pada dasarnya sederhana saja. Kelahiran yang tidak terkontrol menyebabkan penduduk bertambah menurut deret ukur padahal persediaan bahan makanan bertambah secara deret hitung.
  3. Ricardo adalah seorang Pemikir yang paling menonjol di antara segenap pakar Mazhab Klasik. Ia sangat terkenal karena kecermatan berpikir, metode pendekatannya hampir seluruhnya deduktif. David Ricardo telah mengembangkan pemikiran-pemikiran Adam Smith secara lebih terjabar dan juga lebih sistematis. Dan pendekatannya teoretis deduktif, pemikirannya didasarkan atas hipotesis yang dijadikan kerangka acuannya untuk mengkaji berbagai permasalahan menurut pendekatan logika. Teori yang dikembangkan oleh Ricardo menyangkut empat kelompok permasalahan yaitu: teori tentang distribusi pendapatan sebagai pembagian hasil dari seluruh produksi dan disajikan sebagai teori upah, teori sewa tanah, teori bunga dan laba, teori tentang nilai dan harga, teori perdagangan internasional dan, teori tentang akumulasi dan perkembangan ekonomi.
PEMIKIRAN EKONOMI MAZHAB SOSIALIS
Sejarah Pemikiran Mazhab Sosialis dan Kritik terhadap Pemikiran Ekonomi Klasik
  1. Kritik yang dikemukakan oleh mazhab sosialis berhubungan dengan doktrin laissez faire dengan pengendalian tangan tak kentara (invisible hand) dan intervensi pemerintah. Pemikiran yang dibahas adalah tentang teori nilai, pembagian kerja, teori kependudukan, dan the law of deminishing return, dan kritiknya karena asumsi bahwa negaralah yang berhak untuk mengatur kekayaan bangsa.
  2. Para pengritik mazhab klasik terutama dari Lauderdale, Sismonde, Carey, List dan Bastiat. Lauderdale mengajukan kritik bahwa nilai barang ditentukan oleh kelangkaan dan permintaan, sedangkan Muller dan List melihat bahwa nilai barang ditentukan juga tidak hanya oleh modal fisik, tetapi juga oleh modal spiritual dan modal mental. Demikian juga Carey melihat tentang teori nilai dari segi teori biaya reproduksi, sedangkan Bastiat bahwa faktor-faktor yang menentukan nilai barang adalah besarnya tenaga kerja yang dikorbankan pada pembuatan barang, menurut beliau hal-hal yang menjadi karunia alam tidak mempunyai nilai, kecuali telah diolah manusia.
  3. Sismonde mengajukan keberatan terhadap teori kependudukan Malthus, dan tidak mungkin dapat dikendalikan dengan cara-cara yang dikemukakan Malthus, sebab sangat tergantung pada kemauan manusia dan kesempatan kerja, dan kawin yang selalu dikaitkan dengan kemampuan ekonomi. Mesin mempunyai fungsi untuk menggantikan tenaga kerja manusia, aspek mesin tidak selalu mempunyai keuntungan dalam meningkatkan kekayaan bangsa. Carey berpendapat pertambahan modal lebih cepat dari pertambahan penduduk.
  4. Sismonde berpendapat bahwa pembagian kerja skala produksi menjadi semakin besar dan tidak dapat dikendalikan sehingga terjadi kelebihan produksi. Muller berpendapat bahwa pembagian kerja telah membawa pekerjaan ke dalam perbudakan dan tenaga kerja menjadi mesin. Pemikiran List bukan pembagian kerja yang paling penting tetapi mengetahui dan menggunakan kekuatan-kekuatan produktif dalam usaha meningkatkan kekayaan bangsa.
  5. Pemikiran John Stuart Mill banyak dipengaruhi oleh Jeremy Bentam yang beraliran falsafah utilitarian, bebannya sangat berat dalam mempelajari falsafah, politik dan ilmu sosial, yang menjadikan mental breakdown. Kritik terhadap ekonomi klasik terutama pada Smith, Malthus dan Ricardo, dipelajari oleh Mill. Sementara itu pemikiran ekonomi sosialis mulai berkembang, dasar sistem ekonomi klasik adalah laissez faire, hipotesis kependudukan Malthus, hukum lahan yang semakin berkurang, teori dana upah mendapat tantangan. Dalam era inilah pemikiran Mill dituangkan dalam bukunya yang berjudul Principle of Political Economy, dengan pemikiran yang eklektiknya.
  6. Sumbangan yang paling besar Mill adalah metode ilmu ekonomi yang bersifat deduktif dan bersama dengan metode induktif. Karena hipotesisnya belum didukung dengan data empirik, di samping itu pembahasannya tentang teori nilai tidak melihat dari biaya produksi, tetapi telah menggunakan sisi permintaan melalui teori elastisitas. Mill menjelaskan bahwa hukum yang mengatur produksi lain dengan hukum distribusi pendapatan, juga memperkenalkan human capital investment yaitu keterampilan, kerajinan dan moral tenaga kerja dalam meningkatkan produktivitas.
Ekonomi Mazhab Sosialis Utopis
  1. Dari pandangan pemikiran yang revolusioner Karl Marx dan Enggel pemikiran ini biasa disebut kaum sosialis ilmiah dan ada yang tetap mempertahankan dengan cara-cara yang bersifat ideal dan terlepas dari kekuasaan politik disebut sosialis utopis dengan dipelopori oleh Thomas More, Francis Bacon, Thomas Campanella, Oliver Cromwell, Gerard Winstanley, James Harrington..
  2. Perkataan Utopis berasal dari judul buku Thomas More dalam tahun 1516 Tentang Keadaan Negara yang Sempurna dan Pulau Baru yang Utopis. Francis Bacon dalam bukunya Nova Atlantis (1623), dan Thomas Campanella (1623) dalam bukunya Negara Matahari (Civitas Solis).
  3. Saint Simon (1760-1825), dari Perancis bukunya The New Christianity dan Charles Fourier (1772-1837) bercita-cita menciptakan tata dunia baru yang lebih baik bukan dengan kotbah tetapi dengan model percontohan. Louis Blanc mengusahakan agar didirikan ateliers sociesux yakni pabrik-pabrik yang dihimpun negara. Pierre Joseph Proudhom (1809-1865 ) Beliau yakin akan asas persamaan dan lama sekali tidak setuju dengan hak milik pribadi terhadap perusahaan.
Ekonomi Mazhab Sosialis Ilmiah
  1. Karl Marx dilahirkan di Treves Jerman dan seorang keturunan Yahudi. Ia seorang ilmuwan dan pemikir besar bidang filosof serta Pemimpin Sosialisme Modern. Ia belajar di Universitas Bonn kemudian di Universitas Berlin di Jerman dan memperoleh sarjana bidang Filsafat. Dalam masa studinya ia banyak dipengaruhi oleh Friedrich Hegel seorang Filosof Besar Jerman bidang falsafah murni.
  2. Friedrich Engels, berasal dari kalangan usahawan besar di Jerman, keluarganya memiliki sejumlah perusahaan industri tekstil di Jerman maupun di Inggris. Sejak usia muda Engels menaruh minat terhadap ilmu falsafah dan ilmu pengetahuan masyarakat. Nalurinya tergugah oleh apa yang diamatinya dan disaksikannya sendiri mengenai kehidupan masyarakat dalam lingkungan kawasan industri di Jerman dan di Inggris. Engels bertemu dengan Marx tahun 1840 di Paris, sewaktu Marx hidup dalam pembuangan.
  3. Teori tentang perkembangan ekonomi menurut Marx sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian, pertama pemikirannya tentang proses akumulasi dan konsentrasi, kedua teori tentang proses kesengsaraan/pemiskinan yang meluas (die verelendung atau increasing misery), ketiga teori tentang tingkat laba yang cenderung menurun.
  4. Menurut teori konsentrasi perusahaan-perusahaan makin lama makin besar, sedangkan jumlahnya makin sedikit. Perusahaan-perusahaan besar bersaing dengan perusahan kecil maka perusahaan kecil akan kalah dalam persaingan dan kemudian perusahaan kecil lenyap. Timbullah perusahaan-perusahaan raksasa. Para pengusaha kecil dan golongan menengah menjadi orang miskin.
  5. Sedangkan teori akumulasi menyatakan bahwa para pengusaha raksasa semakin lama semakin kaya dan menumpuk kekayaan yang terkonsentrasi pada beberapa orang, dan para pengusaha kecil akhirnya jatuh miskin dan pengusaha kecil yang berdiri sendiri menjadi proletariat. Sejauhmana proses akumulasi yang dimaksud di atas bisa berjalan tergantung dari a) tingkat nilai surplus, b) tingkat produktivitas tenaga kerja, dan c) perimbangan bagian nilai surplus untuk konsumsi terhadap bagian yang disalurkan sebagai tambahan modal.
PEMIKIRAN EKONOMI NEOKLASIK
Perintis Analisis Marjinal
  1. Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi baik dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada nilai tenaga kerja atau biaya produksi tetapi telah beralih pada kepuasan marjinal (marginal utility). Pendekatan ini merupakan pendekatan yang baru dalam teori ekonomi.
  2. Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia telah memberikan sumbangan dalam pemikiran ekonomi yang kemudian disebut sebagai Hukum Gossen I dan II. Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas barang yang dikonsumsi dan tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum Gossen II, bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk berbagai jenis barang yang diperlukannya. Selain Gossen, Jevons dan Menger juga mengembangkan teori nilai dari kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku individulah yang berperan dalam menentukan nilai barang. Dan perbedaan preferences yang menimbulkan perbedaan harga. Sedangkan Menger menjelaskan teori nilai dari orde berbagai jenis barang, menurut dia nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat dipenuhinya. Dengan teori orde barang ini maka tercakup sekaligus teori distribusi.
  3. Pemikiran yang sangat mengagumkan yang disusun oleh Walras tentang teori keseimbangan umum melalui empat sistem persamaan yang serempak. Dalam sistem itu terjadi keterkaitan antara berbagai aktivitas ekonomi seperti teori produksi, konsumsi dan distribusi. Asumsi yang digunakan Walras adalah persaingan sempurna, jumlah modal, tenaga kerja, dan lahan terbatas, sedangkan teknologi produksi dan selera konsumen tetap. Jika terjadi perubahan pada salah satu asumsi ini maka terjadi perubahan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas ekonomi
Teori Produktivitas Marjinal
  1. Dasar pemikiran mazhab neoklasik pada generasi kedua lebih akurasi dan tajam karena bila dibandingkan dengan pemikiran ekonomi pada kelompok generasi pertama neoklasik. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran generasi kedua menjabarkan lebih lanjut perilaku variabel-variabel ekonomi yang sudah dibahas sebelumnya. Lingkupan telah berkembang dari produksi, konsumsi, dan distribusi yang lebih umum beralih pada penjelasan yang lebih tajam.
  2. Pertentangan pemikiran antara para ahli neoklasik seperti J.B. Clark dapat menjadi sumber inspirasi dari perkembangan ilmu ekonomi dalam menjelaskan teori distribusi fungsional, ditafsirkan oleh J.B Clark mempunyai nilai etik, yang secara langsung membantah teori eksploitasi. Dengan teori produktivitas marjinal upah tenaga kerja, laba serta lahan dan bunga ditetapkan dengan objektif dan adil. Tetapi masalahnya, apakah setiap pekerja mendapat upah sama dengan PPMt nya?
  3. Penggunaan pendekatan matematis dalam analisis ekonomi terutama dalam fungsi produksi semakin teknis, dan dengan penggunaan asumsi-asumsi yang dialaminya juga bertambah seperti dalam kondisi skala tetap, meningkat atau menurun. Hal ini dikaitkan pula dengan bentuk kurva ongkos rata-rata, oleh Wicksell. Hal ini merupakan sumbangan besar dalam pembahasan ongkos perusahaan dan industri. Pada saat kurva ongkos rata-rata menurun, sebenarnya pada fungsi produksi terjadi proses increasing returns, dan pada saat kurva ongkos naik, pada kurva produksi terjadi keadaan decreasing returns. Selanjutnya, pada saat ongkos rata-rata sampai pada titik minimum, pada fungsi produksi berlaku asumsi constant return to scale.
  4. Pemikiran lain yang menjadi sumber kontroversi seperti pandangan Bohm Bawerk telah menimbulkan kontroversi pula tentang hubungan antara modal dan bunga. Kontroversi ini pun timbul dari pandangan J.B. Clark. Clark mempunyai pendapat bahwa barang-barang sekarang mempunyai nilai lebih tinggi daripada masa depan, karena itu timbullah bunga. Tetapi, bunga juga dipengaruhi oleh produktivitas melalui keunggulan teknik. Bohm Bawerk memberikan adanya premium atau agio, karena kebutuhan sekarang lebih tinggi daripada masa datang. Tetapi, Fisher melihat dari arus pendapatan masa depan perlu dinilai sekarang, yang dipengaruhi oleh kekuatan subjektif dan objektif. Fisher menjelaskan pula terjadinya bunga melalui permintaan dan penawaran terhadap tabungan dan investasi. Fisher memberi sumbangan pula pada tingkat bunga. Tingkat bunga merupakan marginal rate of return over cost.
Pemikiran Marshall sebagai Bapak Ekonomi Neoklasik
  1. Sumbangan yang paling terkenal dari pemikiran Marshall dalam teori nilai merupakan sitetis antara pemikiran pemula dari marjinalis dan pemikiran Klasik. Menurutnya, bekerjanya kedua kekuatan, yakni permintaan dan penawaran, ibarat bekerjanya dua mata gunting. Dengan demikian, analisis ongkos produksi merupakan pendukung sisi penawaran dan teori kepuasan marjinal sebagai inti pembahasan permintaan. Untuk memudahkan pembahasan keseimbangan parsial, maka digunakannya asumsi ceteris paribus, sedangkan untuk memperhitungkan unsur waktu ke dalam analisisnya, maka pasar diklasifikasikan ke dalam jangka sangat pendek, jangka pendek, dan jangka panjang. Dalam membahas kepuasan marjinal terselip asumsi lain, yakni kepuasan marjinal uang yang tetap.
  2. Pemikiran Alfred Marshall mahir dalam menggunakan peralatan matematika ke dalam analisis ekonomi. Dia memahami, bahwa untuk memudahkan pembaca, maka catatan-catatan matematikanya diletakkan pada bagian catatan kaki dan pada lampiran bukunya. Pembahasannya tentang kepuasan marjinal telah mulai sebelum 1870, sebelum buku Jevons terbit, tetapi karena orangnya sangat teliti dan modes, dia tidak mau cepat-cepat menerbitkan bukunya.
  3. Dalam pembahasan sisi permintaan, Marshall telah menghitung koefisien barang yang diminta akibat terjadinya perubahan harga secara relatif. Nilai koefisien ini dapat sama dengan satu, lebih besar dan lebih kecil dari satu. Tetapi, ada dua masalah yang belum mendapat penyelesaian dalam hal sisi permintaan, yakni aspek barang-barang pengganti dan efek pendapatan. Robert Giffen telah dapat membantu penyelesaian kaitan konsumsi dan pendapatan dengan permintaannya terhadap barang-barang, sehingga ditemukan Giffen Paradox. Peranan substitusi kemudian diselesaikan oleh Slurtky.
  4. Marshall menemukan surplus konsumen. Pengertian ini dikaitkan pula dengan welfare economics. Bahwa konsumen keseluruhan mengeluarkan uang belanja lebih kecil daripada kemampuannya membeli. Jika itu terjadi maka terjadi surplus konsumen. Selama pajak yang dikenakan pada konsumen lebih kecil daripada surplusnya itu, maka kesejahteraannya tidak menurun. Tetapi, pajak juga dapat digunakan untuk subsidi, terutama bagi industri-industri yang struktur ongkosnya telah meningkat. Marshall menjelaskan pula mengapa kurva ongkos total rata-rata menurun dan meningkat. Hal ini berkaitan dengan faktor internal dan eksternal perusahaan atau industri.
  5. Mekanisme permintaan dan penawaran dapat mendatangkan ketidakstabilan, karena setiap usaha yang dilakukan untuk kembali ke posisi seimbang ternyata membuat tingkat harga dan jumlah barang menjauhi titik keseimbangan. Keadaan tidak stabil itu terjadi jika kurva penawaran berjalan dari kiri-atas ke kanan-bawah. Jika variabel kuantitas independen, terjadi kestabilan, tetapi jika berubah harga menjadi independen, maka keadaan menjadi tidak stabil.
Mazhab Institusionalisme
  1. Inti pemikiran Veblen dapat dinyatakan dalam beberapa kenyataan ekonomi yang terlihat dalam perilaku individu dan masyarakat tidak hanya disebabkan oleh motivasi ekonomi tetapi juga karena motivasi lain (seperti motivasi sosial dan kejiwaan), maka Veblen tidak puas terhadap gambaran teoretis tentang perilaku individu dan masyarakat dalam pemikiran ekonomi ortodoks. Dengan demikian, ilmu ekonomi menurut Veblen jauh lebih luas daripada yang ditemukan dalam pandangan ahli-ahli ekonomi ortodoks.
  2. Revolusi perkembangan pemikiran yang dikemukakan Veblen yaitu dengan memperluas lingkup pengkajian ilmu ekonomi, membawa akibat perluasan dan perubahan dalam metodologi, andaian-andaian, dan perilaku variabel-variabel ekonomi. Veblen melihat pengkajian ilmu ekonomi dari berbagai aspek ilmu sosial sehingga diperlukan interdisiplin. Oleh karena itu pula Veblen mendapat tuduhan bukan sebagai seorang pemikir ekonomi, tetapi sebagai seorang sociologist.
  3. Pandangan pemikiran Veblen yang utama bahwa teori-teori ekonomi ortodoks, seperti teori konsumsi, perilaku bisnis, andaian-andaian laba maksimal, persaingan sempurna ditolaknya. Persaingan sempurna hampir tidak terjadi, yang banyak terjadi adalah monopoli, bukan persaingan harga, tetapi harga ditetapkan lebih tinggi. Konflik-konflik yang terjadi bukan lagi antara tenaga kerja dan pemilik modal, tetapi antara bisnismen dengan para teknisi. Karena dunia bisnis telah dikuasai oleh mesin, maka peranan teknisilah yang menentukan proses produksi.
  4. Selanjutnya pandangan Veblen pada tahap awal sukar dipahami oleh ahli-ahli ekonomi, karena dia menggunakan istilah-istilah yang datang dari disiplin lain. Namun demikian, pandangan-pandangannya telah mendorong berkembangnya aliran ekonomi kelembagaan Amerika Serikat. Murid-muridnya melanjutkan dan melakukan pengembangan terhadap pemikiran- pemikirannya.
Tindakan Kolektif dan Surplus yang tidak Produktif
  1. Mitchell seorang ilmuwan sejati yang tidak terpengaruh oleh pemikiran lain ia mempunyai pandangan sendiri. Oleh karena itu tidak semua pandangan Veblen disetujuinya, bahkan di samping pemikiran ekonomi ortodoks, pandangan Veblen mendapat kritik. Mitchell berkeberatan terhadap asumsi-asumsi, logika yang abstrak ekonomi ortodoks, karena itu dia tidak pernah menggunakannya sebagai teori dalam penelitian. Dia lebih menekankan penelitian empirik dan menjelaskan data dengan deskriptif. Pendekatan sejarah, dengan mempelajari sebab-sebab yang menjadi kumulatif secara evolusioner digunakannya dalam analisis siklus bisnis. Fluktuasi kegiatan ekonomi dapat diamati dari keputusan-keputusan pengusaha, reaksi-reaksi pengusaha terhadap perubahan laba. Siklus-bisnis terdiri beberapa tahap, yakni resesi, depresi, pemulihan dan masa-masa makmur (boom).
  2. John R. Commons seorang pelopor ajaran ekonomi kelembagaan di Universitas Wisconsin. Commons mencoba untuk melakukan perubahan sosial, penyempurnaan struktur dan fungsi pendidikan di kampusnya, dan banyak memberikan sumbangan dalam ekonomi perburuhan. Pandangannya terhadap ekonomi ortodoks adalah penolakannya pada lingkungan ekonomi yang sempit, statik, dan mencoba memasukkan segi-segi kejiwaan, sejarah, hukum, sosial dan politik dalam pembahasannya. Teori harga dalam ekonomi ortodoks hanya berlaku dalam kondisi-kondisi khusus. Dalam pasar ekonomi ortodoks terjadi pertukaran, tetapi bukan hubungan pertukaran. Dia membagi tiga macam transaksi dalam pasar, yakni transaksi pengalihan hak milik kekayaan, transaksi kepemimpinan, dan transaksi distribusi. Dalam transaksi tersebut, melibatkan aspek-aspek kebiasaan, adat, hukum dan kejiwaan.
  3. Pandangan pemikiran J.A. Hobson tentang kritiknya terhadap ekonomi ortodok, yaitu ada tiga kelemahan teori ekonomi ortodoks yang ditemukannya, yakni tidak dapat menyelesaikan masalah full employment yang dijanjikan teori ekonomi ortodoks, distribusi pendapatan yang senjang, dan pasar bukanlah ukuran terbaik untuk menentukan ongkos sosial. Adanya ekonomi normatif dan positif tidak disetujuinya, oleh karena keduanya mengandung unsur etika, hipotesis tentang timbulnya imperialisme, karena terjadi under consumption dan over saving di dalam negeri, maka diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah baru. Pengeluaran pemerintah dan pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full employment, dan meningkatkan pendapatan pekerja dan peningkatan produktivitas. Pembayaran terhadap faktor-faktor produksi dapat ditentukan atas kebutuhan cukup untuk meningkatkan produktivitas dan dengan memberikan kelebihan yang tidak produktif. Dengan semakin meratanya pembagian pendapatan akan mendorong peningkatan produktivitas, meningkatnya konsumsi, dan akan terhindarlah ekonomi dari resesi.
Inovasi, Drama Asia dan Kapitalisme Amerika
  1. Pemikiran yang paling menonjol dari Schumpeter tentang pembahasan ekonomi jangka panjang terlihat dalam analisisnya baik mengenai terjadinya inovasi komoditi baru, maupun dalam menjelaskan terjadinya siklus-bisnis. Keseimbangan ekonomi yang statik dan stasioner itu mengalami gangguan dengan adanya inovasi, namun gangguan itu berusaha mencari keseimbangan baru. Inovasi akan terhenti kalau kapten industri (wiraswasta) telah terlihat dengan persoalan-persoalan rutin. Walaupun Schumpeter menggunakan andaian-andaian ekonomi ortodoks, tetapi dia memasukkan aspek dinamik dengan mengkaji terjadinya fluktuasi bisnis, di mana terjadi resesi, depresi, recovery, dan boom. Invensi dan inovasi merupakan kreativitas yang bersifat destruktif. Penemuan hari ini dapat dihancurkan oleh penemuan esok, tetapi ekonomi tetap tumbuh.
  2. Pemikiran Gunnar Myrdal seorang ekonomi Swedia yang terbesar dewasa ini tertarik dengan pengkajian sosiologi. Dia mempelajari sebab-sebab terjadinya kemiskinan di negeri-negeri maju dan yang sedang berkembang. Dalam mengatasi persoalan-persoalan itu tidak dapat hanya dengan teori-teori ekonomi ortodoks, oleh karena teori itu terlalu sempit. Perencanaan ekonomi di negeri-negeri yang sedang berkembang akan mengarahkan pembangunan yang jelas, dan perencanaan itu meliputi segala aspek, yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan semua sektor. Alat analisisnya seperti yang dilakukan oleh Mitchell, yakni sebab-musabab yang bersifat kumulatif. Jadi, kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, sosial dan kejiwaan dapat berhimpun menjadi sebab kejadian yang merugikan atau yang menguntungkan pembangunan.
  3. John Keyneth Galbraith menjelaskan perkembangan ekonomi kapitalis di AS, yang tidak sesuai dengan ramalan-ramalan yang bersifat manipulatif dari teori ekonomi ortodoks. Andaian-andaian ekonomi ortodoks menurut Galbraith ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya. Tidak ada lagi persaingan sempurna, pasar telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini menentukan selera konsumen. Kekuasaan konsumen telah tidak berarti sehingga timbul dependent-effect pemilik modal telah terpisah dengan para manajer yang profesional, dan para manajer ini telah menjadi technostructure masyarakat. Konsumsi masyarakat telah menjadi tinggi, tetapi sebaliknya terjadi pencemaran lingkungan, dan kualitas barang-barang swasta tidak dapat diimbangi oleh barang-barang dan jasa publik. Kekuatan-kekuatan perusahaan besar dikontrol oleh kekuatan pengimbang seperti kekuatan buruh, pemerintah, dan lembaga-lembaga konsumen. Namun demikian, untuk menjamin kelanjutan kekuasaan perusahaan- perusahaan ini, mereka meminta pemerintah untuk menstabilkannya.
    Sumber Buku Sejarah Teori-teori Ekonomi Karya Disman

ARTIKEL PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID:

)Telaah Kitab al-Amwal(

Oleh: H.Ridjaluddin F.N.

Abstrak:
Salah satu bukti sejarah yang terjadi pada masa kemajuan Islam klasik adalah munculnya pemikiran ekonomi oleh Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab karyanya yang berjudul Al-Amwal. Kitab tersebut sebenarnya lebih tepat disebut dengan Fikih Ekonomi yang menjelaskan upaya pengembangan dan pembangunan institusi ekonomi bagi kebutuhan kehidupan manusia masa kini. Ia menekankan bahwa asas yang harus diusung tinggi dalam kebijakan ekonomi adalah “yang berkeadilan bagi publik”. Lebih hebat lagi, kitab tersebut dijadikan referensi bagi para ekonom Barat sampai hari ini.  

Pendahuluan

Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, produk pemikirannya itu sebenarnya dipengaruhi oleh lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya. kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum.[1] Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah itu.
Sedikitnya ada empat jenis produk hukum Islam yang ada selama ini, yaitu kitâb-kitâb fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-fatwa ulama.[2] Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitâb fikih merupakan hasil nalar fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, kemudian dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang panjang. Ia disosialisasikan dan memberi makna islami terhadap pranata sosial yang baru.[3] Produk fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat kecenderungan bahwa fikih identik dengan hukum Islam. Kitâb-Kitâb fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam yang pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap perubahan karena revisi terhadap sebagiannya dianggap mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Sejarah telah membuktikan bahwa meskipun ketika ditulis kitâb-kitâb fikih itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, dalam kenyataan beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan sebagai Kitâb Undang-Undang. Demikian pula kitâb-kitâb itu ditulis oleh pengarangnya tidak secara eksplisit disebut masa berlakunya sehingga cenderung dianggap berlaku sepanjang masa, hal ini merupakan perwujudan kaidah al mukhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-‘akhdz bi al-jadîd al-‘ashlah (memelihara hal lama yang baik dan meraih hal baru yang lebih baik).
Makalah ini mencoba menganalisis sebuah kitâb fikih. Seperti dikatakan oleh A. Dzazuli,[4] bahwa kitâb fiqih dapat dipilah menjadi beberapa bidang yaitu: ibâdah, ahwâl asy-syakhshiyyah, mu’âmalah, jinâyah, aqliyyah, siyâsah. Pembidangan hukum Islam ini sejalan dengan perkembangan pranata sosial sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Karenanya semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin beragam pula pranata sosial sehingga menuntut perkembangan pemikiran fiqih dan pembidangan hukum Islam. Berkaitan dengan hal ini melahirkan apa yang disebut fiqih pendidikan, fiqih lingkungan dan lain-lain, yang oleh Ali Yafie disebut sebagai “Fiqih Sosial”.[5] Fiqih sosial ini merupakan respon pemikir hukum Islam dalam memberi makna islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia.
Makalah ini menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu kitâb Al Amwâl karya Abû ‘Ubaid, kitâb ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka kitâb ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan “fiqh ekonomi”. Hal ini karena pemikiran Abû ‘Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa Qur’an dan Hadis untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini. Tentu saja dalam pembahasannya akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam dengan mata kuliah yang dikaji pada semester ini.

Pembahasan

A. Abû ‘Ubaid: Biografi, Latar Belakang, dan Pendekatannya

1. Biografi Singkat dan Karyanya
Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.[6]
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”.[7] Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abû ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain.[8] Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[9] Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.



2. Latar Belakang dan Pendekatannya
Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abû ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M).[10] Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abû ‘Ubaid (w.224/834 H), Imâm Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhâsibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi.[11] Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance. Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun oleh Abû al-Abbâs dan Abû Ja’far al-Manshûr. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).[12] pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”.[13] Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama, Tafsir bi al-Ma’tsûr (interpretasi tradisional dengan bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsir bi al-Ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.[14]
Imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imâm Abû Hanîfah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya, Abû Yûsuf menjadi Qâdhi al-Qudhât di zaman Harun ar-Rasyid. Berbeda dengan Abû Hanîfah, Imâm Mâlik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imâm Syâfi’i (767-820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Râzi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abû ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn Mûsa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.
Abû ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk,[15] pemikiran Abû ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwâl, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitâb al-‘Amwâl dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abû ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya.[16] Berbeda dengan Abû Yûsuf, Abû ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitâb al-‘Amwâl dapat dikatakan lebih kaya dari kitâb al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abû ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abû ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abû ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abû ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis.[17] Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadis mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abû ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abû ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka.[18] Tetapi dalam kitâb al-Amwâl tidak ada disebut nama Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Idris asy-Syâfi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Mâlik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abû Hanîfah, Abû Yûsuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[19]
Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahmân ar-Ramhurmudzi,[20] bahwa Abû ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitâb fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syâfi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abû ‘Ubaid dan asy-Syâfi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abû ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syâfi’i tanpa menyebut nama.

B. Kitâb al-Amwâl: Isi, Format, dan Metodologi

Kitâb al-‘Amwâl dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur.[21]
Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul “jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitâb dan Sunnah”. Abû ‘Ubaid memberikan prioritas penerimaan pada masa Nabi seperti fai’ dan alokasinya, diklasifikasikan sebagai tiga sumber penerimaan negara sesudah Nabi. Bagian lainnya dari buku tersebut berbicara tentang penerimaan negara yaitu: fai’, khums, dan shadâqah (zakat), Imam berkewajiban memelihara dan mengalokasikannya pada publik.
Tiga bagian pertama dari buku tersebut meliputi beberapa bab tentang penerimaan fai’. Fai’, menurut Abû ‘Ubaid termasuk dari pendapatan jizyah (poll tax), kharj (pajak tanah), dan ‘usyhur (bea cukai). Sedangkan masalah ghanîmah dibahas tersendiri beserta fidyah (tebusan tawanan perang). Bagian berikutnya (keempat) memperhatikan penalukan-penaklukan wilayah, ada bab-bab yang membahas pertanahan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang.[22] Sesudah itu bagian kelima membahas tentang distribusi dari fai’, dan bagian keenam yang membahas tentang iqta’, ihya’ al-mawât, dan hima.
Tampak bahwa kitâb al-Amwâl secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (public finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitâb al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat kitâb ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad Islam. Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada sahabat, tabi’in serta atba’ tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat ahli fikih. Abû ‘Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela’ah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abû ‘Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun.
Ibrahim al-Harbi (murid dari Abû ‘Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitâb al-Amwâl adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abû ‘Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abû ‘Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.[23]
Walaupun Abû ‘Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak.[24] Abû ‘Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur’an dan al-Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan/kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.
Referensi utama Abû ‘Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur’an adalah di atas al-Hadîs. Walaupun sebenarnya al-Hadis adalah penjelasan dari al-Qur’an.[25] Penjelasan dari para sahabat, tâbi’în dan atba’ at-tâbi’în dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadis. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan Hadis; secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi.[26] Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih diutamakan.[27] Tingkat pemahaman Abû ‘Ubaid terhadap keduanya (al-Qur’an dan al-Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi al-Qur’ân al-‘Azîz wamâ fîhi min al Farâ’id wa al-Sunan, Gharîb al-Qur’ân, Ma’âni al-Qur’ân, Gharîb al-Hadîts, yang merupakan penjelasan (tafsîr) dan interpretasi alegorik (ta’wîl) dari al-Qur’ân dan al-Hadîs.[28]
Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio).[29] Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur’an.[30] Sumber ketiga yang digunakan Abû ‘Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan).[31] Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi,[32] di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya,[33] sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.[34]
Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâshid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum.[35] Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) meruapakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja.[36] Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’âmul (hukum adat atau tradisi).[37]

C. Pandangan Ekonomi Abû ‘Ubaid

1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abû ‘Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.[38] Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.[39]
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut.[40] Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik.[41] Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.[42] Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius.[43] Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free).[44] Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).[45]
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.

2. Dikotomi Badui (masyarakat tradisional/desa) ke Urban (masyarakat kota)
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.[46]
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi.[47] Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

3. Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.[48]

4. Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan,[49] tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.[50]
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam.[51]

5. Fungsi Uang
Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abû ‘Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari kitâb al-Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.

Penutup
Melalui pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abû ‘Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.
Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsar sahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Abû ‘Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang kosmopolit dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan ra’yu (rasio), hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imâm ‘Abû Hanîfah. Berbeda dengan Imâm Mâlik yang hidup di wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa al-Rasyidin dimana penyebaran Hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abû ‘Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai Hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu), meski sangat hati-hati. Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari Sunnah dapat dispesifikasi dengan Sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan Sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan ‘Abû Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâsid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi)
Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “The Wealth of Nation” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl ini, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.

























DAFTAR PUSTAKA

Abdul al Wahhab ibn Ali, Taj al-Din, Tabaqat al Syafi’iyah al Kubra, vol. II, Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t.
Al-Awdiy, Rifa’at, Min al-Turast al-Iqtishadi li al-Muslimin, (Kuliah Tijarah-Jami’ah al Azhar), Mekah: Mathba’ah Rabithah al ‘Alam al Islami, t.t.
Al-Qasim ibn Salam, Abu Ubaid, Kitab al Amwal, Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988
Al Ramhurmudzi, Hasan ibn Abd. Rahman, Al-Muhaddith al-Fasil bain al-Rawi wa al-Marwi, Beirut: 1971
Bosworth, CE., Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993
Dzazuli, A., Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Bandung: Orba Shakti, 1991
Gottschalk, Hans, Abu Ubaid al-Qasim ibn. Salam. Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Der Islam 13, 1936: 245-289, dalam tulisan Cengiz Kallek, Abu Ubaid Economic Thought, Kuala Lumpur:: Associate Professor, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1977
Hasan Basri, Cik, Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia, dalam Cik Hasan Basri [ed.] Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998
Mudzar, Atho, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum,, Jakarta: Departemen Agama, 1992, h. 20
-----------------, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Hukum Islam, dalam Cik Hasan Basri [ed.] Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, , Jakarta: Logos, 1998
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet. ke-4
----------------------, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid II
Perwataatmadja, Karnaen, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah pada Fakultas Syari’ah, 2000/2001
Siddiqi, M. Nejatullah, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994



[1] Atho Mudzar, “Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam”, dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Departemen Agama, 1992, h. 20
[2] Atho Mudzar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Basri (ed.), Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, h. 3-4
[3] Cik Hasan Basri, “Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia”, ibid., h. 111
[4] A. Dzazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Bandung: Orba Shakti, 1991, h. 54
[5] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994, h. 133
[6] Rifa’at al Awdiy, Min al Turast al Iqtishad li al Muslimin, Kuliah Tijarah-Jami’ah al Azhar, Mekah: Mathba’ah Rabithah al ‘Alam al Islami, t.t., h. 147
[7] Abu Ubaid al Qasim bin Salam, Kitab al Amwal, Beirut: Dar al Fikr, 1408 H/1988 M, h. ج-د(muqadimah)
[8] ibid., h. ه
[9] M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992, h. 39-40
[10] Ibid.
[11] Karnaen Perwataatmadja, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Diktat kuliah pada Fakultas Syari’ah, 2000/2001, h. 57
[12] CE. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993, h. 41
[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-4, h. 11
[14] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid II, h. 14
[15] Hans, Gottschalk, Abu Ubaid al Qasim b. Salam. Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Der Islam 13, 1936: 245-289, dalam tulisan Cengiz Kallek, Abu Ubaid Economic Thought, Kuala Lumpur: Associate Professor, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1977, h. 1-18
[16] ibid., h. 272
[17] ibid., h. 277
[18] Taj al Din Abdul al Wahhab ibn Ali, Tabaqat al Syafi’iyah al Kubra, vol. II, Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t., h. 154, 158
[19] Abu Ubaid, Ibid., h. 103, 128, 151, 172, 249, 467, 520, 584, 603, 620
[20] Hasan bin Abdul Rahman al Ramhurmudzi, al Muhaddith al Fasill bain al Rawi wa al Wa’i, Beirut, 1971, h. 250
[21] Rifa’at al Awdiy, ibid., 156-157
[22] Abu Ubaid, Op.cit., h. 132-298
[23] ِIbid., h. 307, 323, 401
[24] Ibid., h. 667, 692
[25] Ibid., h. 649-650
[26] Ibid., h. 408, 560
[27] Ibid., h. 203, 309
[28] Ibid., h. 112
[29] Ibid., h. 468-469, 474, 512
[30] Ibid., h. 303
[31] Ibid., h. 112
[32] Ibid., h. 540, 578
[33] Al-Amwal, Op.cit., h. 497, 554, 593
[34] Ibid., h. 497
[35] Ibid., h. 594
[36] Ibid., h. 165, 169
[37] Ibid., h. 478, 566, 595
[38] Ibid., h. 138, 221-224, 285
[39] Ibid., h. 680-681
[40] Ibid., h. 137-140
[41] Ibid., h. 357-363
[42] Ibid., h. 116
[43] Ibid., h. 231-233
[44] Ibid., h. 643
[45] Ibid., h. 118-122
[46] Ibid., h. 323
[47] Ibid., h. 337
[48] Ibid., h. 367-393
[49] Ibid., h. 689
[50] Ibid., h. 661-665
[51] Ibid., h. 718

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger